Senin, 30 April 2012

ARTIKEL TENTANG KASUS HUKUM DI INDONESIA


MANUSIA  DAN  KEADILAN

Indonesia Modern Dengan UU-ITE

Pengguna internet di Indonesia sebenarnya berjumlah cukup besar. Namun, bila angka itu dibandingkan dengan total populasi yang mencapai 207 jiwa, maka diperoleh angka kurang dari 2% penduduk Indonesia yang menggunakan internet. Angka itu makin kecil, kalau dikaitkan dengan kepemilikan komputer di masyarakat kita. Namun bukan berarti, Indonesia tidak perlu payung hukum.

Thomas L. Friedman seorang coloumnist asing The New York Times menggambarkan bahwa globalisasi merupakan hal yang tidak bisa di tolak lagi oleh setiap bangsa. Globalisasi menurut Friedman terjadi pada hampir di seluruh negara di dunia. Globalisasi yang dijabarkan termasuk didalamnya juga pengaruh besar teknologi informasi dalam aktifitas manusia .
Dikutip dari tulisan Teguh Arifiyadi, Inspektorat Jenderal Depkominfo, perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara (borderless). Negara yang sudah mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, negara yang sedang berkembang dalam pengembangannya akan merasakan kecenderungan timbulnya neo-kolonialisme . Hal tersebut menunjukkan adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi merupakan infrastruktur bagi perkembangan suatu negara. Tanpa penguasaan dan pemahaman akan teknologi informasi ini, tantangan globalisasi akan menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lain dan hilangnya kesempatan untuk bersaing karena minimnya pemanfaatan teknologi informasi.
Tertinggal dalam hukum
Disadari betul bahwa perkembangan teknologi informasi yang berwujud internet, telah mengubah pola interaksi masyarakat, seperti interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Internet telah memberikan kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, perusahaan, industri maupun pemerintah. Hadirnya Internet telah menunjang efektifitas dan efisiensi operasional setiap aktifitas manusia.
Jhon Chamber, President dan CEO terkemuka di Amerika bahkan menyebut bahwa saat ini revolusi internet memiliki dampak cukup besar bahkan mungkin lebih besar dari revolusi industri yang pernah terjadi. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri. Dekatnya hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet.
Meskipun infrastruktur di bidang teknologi informasi di Indonesia tidak sebanyak negara-negara lain, namun bukan berarti Indonesia lepas dari ketergantungan terhadap teknologi informasi. Setidaknya ada beberapa aspek kehidupan masyarakat di Indonesia yang saat ini dipengaruhi oleh peran teknologi informasi seperti pelayanan informasi, transaksi perdagangan dan bisnis, serta pelayanan jasa oleh pemerintah dan swasta.
Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia d tuntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudahaannya atau mungkin hal yang sebaliknya.
Jeane Nelttje Saly  berpendapat bahwa perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat menimbulkan akibat yang menguntungkan dan akibat yang merugikan bagi masyarakat. Menguntungkan masyarakat karena antara lain komunikasi yang mudah dengan menggunakan informasi elektronik. Merugikan karena hukum terkait belum cukup mampu memfungsikan dirinya sebagai sarana ketertiban. Disinilah tampak jelas bahwa hukum di Indonesia masih tertinggal (bahkan tertinggal jauh) dengan perubahan yang ada di masyarakat.
Sebuah platform
Sebenarnya secara nyata sebelum Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan, dunia hukum Indonesia sudah menelurkan preseden dan upaya penegakan hukum dengan mempergunakan regulasi yang sudah ada. Masih ingat tentang peradilan Akbar Tanjung yang mempergunakan fasilitas live conference ketika menghadirkan mantan Presiden BJ Habibie yang sedang berada di Jerman? Ini merupakan preseden cerdas yang hadir dari seorang hakim berkualitas. Namun preseden ini dinyatakan tidak berlaku dalam peradilan lainnya dengan hakim yang berbeda. Hakim dalam peradilan tersebut menginginkan kehadiran saksi secara fisik, seperti diatur dalam kitab hukum pidana.
Teddy Sukardi, Presiden Federasi Teknologi Informasi Indonesia, mengungkapkan bahwa kehadiran UU ITE seharusnya dipandang sebagai pembentukan platform yang bisa menyepahamkan persoalan yang dihadapi. “Selama ini tidak ada sebuah platform yang memberikan aturan main dalam masalah tersebut,” akunya. Itu sebabnya ia sangat optimis dengan UU ini, sekalipun ia mengatakan bahwa memang UU ini bukan merupakan obat mujarab bagi semua penyakit yang ada.
Teddy menunjukkan bahwa dari sebuah penelitian, Indonesia menempati urutan ke 14 dari 16 negara Asia yang disurvei. Indonesia bahkan kalah menarik sebagai tempat berinvestasi dan berbisnis dibanding Srilanka yang baru saja mengakhiri perang saudaranya. Salah satu penyebabnya adalah Indonesia saat itu belum memiliki cyberlaw, seperti negara-negara tetangga: Malaysia dan Singapura.
Dalam konteks perdagangan dan perekonomian global, pebisnis Indonesia, mau tidak mau dan suka tidak suka, menggunakan dan memanfaatkan eCommerce. Tentunya masalah ini menyangkut pula masalah transfer elektronik. Mitra dagang dan bisnis Indonesia tentu merasa tidak nyaman karena merasa tidak terlindungi akibat ketidak-adaan cyberlaw. Perlu diingat sejak pecahnya gelembung perekonomian nasional, sejumlah pebisnis merasakan kian sulitnya pembayaran lewat kartu kredit yang diterbitkan di Indonesia.
Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu asas yang dianut dalam UU ITE. Asas lainnya yang terkadung dalam UU itu adalah manfaat, sikap kehati-hatian, itikad baik, dan netralitas teknologi. Sebagaimana undang-undang layaknya, UU ini mengatur hal-hal pokok dan aspek-aspek yang terkait dengan pemanfaatan TI, khususnya pengelolaan informasi elektronik dan transaksi elektronik.
Karenanya, UU ini harusnya mencakup berbagai aspek, mulai dari informasi elektronik, penyelenggaraan sistem elektronik, transaksi elektronik, tanda tangan elektronik, penyelenggara tanda tangan elektronik, akses ke sistem dan jaringan komputer, nama domain, dan perlindungan terhadap informasi dalam komputer serta sistem komputer. UU juga mengatur aspek-aspek yang belum diatur dalam HaKI, seperti desain situs dan karya intelektual yang ada di dalamnya. Perlindungan juga diberikan atas hak-hak pribadi (privacy). Sehingga penggunaan setiap informasi melalui media elektronik, yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang harus memperoleh persetujuan pemiliknya.
Selain itu, diatur juga tentang penyelesaian sengketa. Ini mencakup gugatan perdata, tata cara melakukan gugatan itu, pengadilan yang memprosesnya, upaya hukum, arbitrase, dan penyelesaian di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution – ADR) yang bisa berupa negoisasi, mediasi dan konsiliasi.
Yang baru dalam khasanah hukum di Indonesia adalah karena UU ini menganut asas ekstra teritorial. Artinya, UU ini juga berlaku bagi setiap orang yang berada di luar Indonesia yang melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam UU ini yang akibatnya merugikan untuk pihak-pihak yang berada di Indonesia.
Sosialisasi
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Muhammad Nuh mengatakan, saat ini Indonesia menjadi masyarakat modern dengan disahkannya UU ITE dan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). “Dua undang-undang ini menjadi simbol masyarakat modern. Karena ciri-ciri masyarakat modern antara lain keakraban dengan teknologi terkini yaitu teknologi informasi. UU ITE itu adalah simbol dari transaksi elektronik,” kata Muhammad Nuh.
Untuk implementasi UU KIP ini, Menkominfo mengatakan ada empat persiapan yang harus dilakukan yaitu penyediaan infrastruktur hukum baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen); pembangunan infrastruktur teknis; pembangunan infrastruktur kelembagaan seperti pembentukan Komisi Informasi Publik; dan komitmen yang tinggi baik dari pemerintah, DPR maupun institusi yudikatif utuk sosialisasi UU KIP tersebut.
Nuh mengatakan diperlukan dua tahun sesuai kesepakatan pemerintah dan DPR untuk memberi waktu kepada semua pihak sebelum UU KIP tersebut diberlakukan setelah diundangkan. “Empat persiapan ini harus dilakukan secara simultan dan paralel satu dengan lainnya hingga dalam waktu dua tahun UU ini efektif bisa dijalankan,” kata Nuh.
Dalam masa transisi, pemerintah akan memanfaatkan waktu dua tahun untuk pembentukan Komisi Informasi Publik, penyusunan dan penetapan PP, petunjuk teknis, sosialisasi, persiapan sarana dan prasarana. Sebelumnya, DPR RI akhirnya menyetujui pengesahan RUU tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi UU setelah sembilan tahun RUU ini dibahas di DPR RI sejak masa bhakti DPR periode 1999-2004.
                                                            ====**====
Sumber-sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar