Akulturasi
Budaya
- Pengertian Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi
adalah suatu proses sosial,
yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu sendiri. Atau bisa juga di
definisikan sebagaiperpaduan antara kebudayaan yang berbeda
yang berlangsung dengan damai dan serasi.
- Contoh Akulturasi Budaya
Wujud
Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia
Dari
definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan
kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur
menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan
kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.Hal ini berarti kebudayaan Hindu
– Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti apa adanya,
tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki
penduduk Indonesia, sehingga budaya tersebut berpadu dengan
kebudayaan asli Indonesia menjadi bentuk akulturasi kebudayaan
Indonesia Hindu – Budha.
Wujud
akulturasi tersebut dapat Anda simak pada uraian materi unsur-unsur
budaya berikut ini:
- Bahasa
Wujud
akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan
bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana
bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia.
Penggunaan
bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu
bertulis) peninggalan kerajaan Hindu – Budha pada abad 5 – 7 M,
contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan
Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta
di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada
prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 – 13 M. Untuk aksara,
dapat dibuktikan adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang
menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal
ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang
menggunakan huruf Jawa Kuno.
- Religi/Kepercayaan
Sistem
kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha
masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme
dan Dinamisme.
Dengan
masuknya agama Hindu – Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia
mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan
Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami
Sinkritisme. Tentu Anda bertanya apa yang dimaksud dengan
Sinkritisme? Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang
berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk
itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda
dengan agama Hindu – Budha yang dianut oleh masyarakat India.
Perbedaaan-perbedaan tersebut dapat Anda lihat dalam upacara ritual
yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia.
Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali,
upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.
- Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud
akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat Anda
lihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang
berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.
Dengan
adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan
yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah
oleh seorang raja secara turun temurun.
Raja
di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan
dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di
Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya
Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harhari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi
satu).
Pemerintahan
Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti
di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip
musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra
mahkota yaitu seperti yang terjadi di kerajaan Majapahit, pada waktu
pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di samping terlihat
dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan,
yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta.
Sistem
kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan
Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya
(golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata).
Kasta-kasta
tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia
tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India karena
kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan,
sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta
hanya diterapkan untuk upacara keagamaan.
- Sistem Pengetahuan
Wujud
akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan
waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu.
Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan
perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai
contoh misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M
Di
samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan
perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala. Apakah Anda
sebelumnya pernah mendengar istilah Candrasangkala? Candrasangkala
adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka.
Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di
pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu contohnya
yaitu kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna =
0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut
diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan
1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit .
- Peralatan Hidup dan Teknologi
Salah
satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat
dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang
mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di
Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena
candi di Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya
melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra
yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk
melaksanakan pembuatan arca dan bangunan.
Untuk
itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat
perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden
berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan
Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi
bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi
tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan
salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan
bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja
dan orang-orang terkemuka.
Di
samping itu, dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi
artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi
bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang
menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih.
Dengan
demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan
terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah
meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja
sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap
dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares
merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
Gambar
2. Candi Jago,Malang, Jawa Timur
Gambar
2. adalah gambar candi juga salah satu peninggalan kerajaan Singosari
yang merupakan tempat dimuliakannya raja Wisnuwardhana yang
memerintah tahun 1248 – 1268.
Dilihat
dari gambar candi tersebut, bentuk dasarnya adalah punden berundak-
undak dan pada bagian bawah terdapat kaki candi yang di dalamnya
terdapat sumuran candi, di mana di dalam sumuran candi tersebut
tempat menyimpan pripih (lambang jasmaniah raja Wisnuwardhana).
Untuk
candi yang bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu untuk
memuja Dyani Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa,
Gambar
3. Candi Borobudur, Jawa Tengah
Gambar
3. candi Borobudur adalah candi Budha yang terbesar sehingga
merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dan merupakan salah satu
peninggalan kerajaan Mataram dilihat dari 3 tingkatan, pada tingkatan
yang paling atas terdapat patung Dyani Budha.Patung-patung Dyani
Budha inilah yang menjadi tempat pemujaan umat Budha. Di samping itu
juga pada bagian atas, juga terdapat atap candi yang berbentuk stupa.
Untuk
candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia
stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha.
Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan
tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur
budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang
bercorak Indonesia.
- Kesenian
Wujud
akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra
dan seni pertunjukan . Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya
dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar timbul), gambar
timbul pada candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah/cerita
yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha. Contoh
dapat Anda amati gambar 4.
Gambar
4. Relief Candi Borobudur
Dari
relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata
Indonesia juga mengambil kisah asli cerita tersebut, tetapi suasana
kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana
kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan
demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya
India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana
di Indonesia.
Untuk
wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya
suatu ceritera/ kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber
dari kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata
yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab
kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak
sama proses seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali
oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan,
tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya
tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan
dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak
menceritakan perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan
kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.
Di
samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai
suatu ceritera dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah
satunya pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan wayang merupakan salah
satu kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan
wayang tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud
akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari
pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang
berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya
karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara lain
terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya
dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya
Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan
berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Dorna adalah tokoh
yang berperangai buruk suka menghasut.
Demikian
penjelasan tentang wujud akulturasi dalam bidang kesenian. Dan yang
perlu Anda pahami dari seluruh uraian tentang wujud akulturasi
tersebut bahwa unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur budaya
yang dominan dalam kerangka budaya Indonesia, karena dalam proses
akulturasi tersebut, Indonesia selalu bertindak selektif.
おわり
SUMBER
- gambar-gambar by Google.com