Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah penduduk sebesar 222 juta jiwa. Hal tersebut membuat Indonesia memiliki beragam budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Namun dibalik ragam budaya yang mewarnai negeri ini, tersimpan suatu masalah pelik yang tidak dapat dipandang sebelah mata, yaitu masalah budaya membuang sampah sembarangan. Mungkin ini terdengar sepele, namun berawal dari hal kecil yang sepele ini lah penyebab timbulnya bencana yang sangat besar.
Budaya membuang sampah sembarangan telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu terutama di kota-kota besar berpenduduk padat seperti Jakarta dan Bandung. Hal itu dapat dibuktikan dari tingkat pencemaran air yang terjadi di sungai yang ada di kedua kota tersebut. Di Jakarta, sudah tidak ada lagi sungai berair jernih karena masyarakat lebih senang membuang sampahnya di sungai dengan anggapan, air yang mengalir akan membawa sampah mereka ke laut dan mereka tidak perlu repot-repot lagi membakar atau mengolah sampah-sampah mereka tanpa memikirkan akibatnya.
Akibat dari budaya membuang sampah sembarangan itu kita rasakan dalam waktu yang singkat. Karena sungai yang berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah masal itu tiba-tiba macet karena tersumbat oleh sampah-sampah yang bertumpuk, banjir bandang di musim-musim penghujan pun terjadi. Seluruh kota terendam air sungai yang kotor karena tercemar oleh sampah-sampah mereka sendiri. Masalahnya tidak hanya sampai disitu, banyak warga yang menderita penyakit selama musim hujan. Itu karena air sungai yang terkontaminasi bahan kimia bereaksi pada kulit dapat menimbulkan efek alergi sehingga banyak warga yang terkena penyakit kulit. Lalu penyakit PES yang disebabkan oleh air kencing tikus juga banyak menyerang warga selama masa banjir. Lalat juga menjadi medium penyebar penyakit yang terdapat di tumpukan sampah dan hinggap pada makanan warga.
o Sekarang, mari kita lihat bagaimana pengelolaan sampah yang dilakukan oleh warga di salah satu negara kawasan Asia Timur yang terkenal sebagai pelopor industry kawasan Asia. Negara Jepang sudah lama memperhatikan masalah penumpukan sampah yang dapat berakibat buruk bagi kesehatan dan kebersihan lingkungan Mereka memberlakukan kebijakan untuk membuang sampah pada tempatnya dan sesuai dengan jenis sampah tersebut. Jenis sampah di klasifikasikan menjadi sampah daur ulang yang terdiri dari kaleng, plastik dan botol; sampah kertas yang terdiri dari koran, kardus, kertas bekas dan poster; sampah organik yang terdiri dari sisa makanan dan daun; dan sampah non daur ulang yang terdiri dari styrofoam, baterai bekas, plastik yang mengandung alumunium, dan sebagainya
Mengapa pemerintah Jepang sampai menggunakan kebijakan yang begitu rumit hanya untuk masalah membuang sampah? Kebijakan itu tentunya tidak sembarangan dibuat dan masing-masing memiliki arti khusus, tidak sembarangan ditetapkan begitu saja. Misalnya, mengapa sampah daur ulang , sampah kertas dan sampah non daur ulang dibedakan tempatnya. Kebanyakan masyarakat Indonesia masih berfikir bahwa semua sampah plastik adalah sampah daur ulang, termasuk baterai bekas, styrofoam dan alumunium foil. Padahal itu adalah cara pandang yang salah, baterai bekas yang mengandung merkuri apabila tercampur tanah akan mengakibatkan tanah kita terkontaminasi sehingga menjadi gersang dan tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam. Begitu juga Styrofoam dan alumunium foil. Semua bahan itu juga bercampur dan mengendap dalam tanah atau air akan menimbulkan efek pencemaran lingkungan tingkat tinggi. Jika dibiarkan saja, lama kelamaan Indonesia akan menjadi negara mati karena sumber air dan tanahnya tidak produktif lagi. Itulah sebabnya mengapa ada tempat khusus untuk sampah non daur ulang, karena sampah ini pengolahannya dilakukan secara khusus dan tidak sama dengan sampah daur ulang biasa.
Lalu, mengapa dibedakan antara sampah daur ulang berupa plastik dan kaleng dengan sampah kertas yang sama-sama dapat didaur ulang? Hal itu karena, tempat pengolahan keduanya berbeda. Sampah kertas dapat didaur ulang menjadi kertas lagi sehingga menghemat penggunaan kayu sebagai bahan pembuatan kertas dan hal itu dapat menyelamatkan keberadaan hutan. Sedangkan sampah kaleng dan plastik yang mengurai dalam waktu yang lama didaur ulang menjadi barang-barang lain atau menjadi plastik dan kaleng yang baru setelah melalui prosesnya masing-masing. Hal ini menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan oleh plastik yang bertumpuk padahal proses penguraiannya membutuhkan waktu puluhan tahun.
Mungkin pengelompokan sampah di Jepang terlihat rumit, namun berdampak besar bagi masyarakatnya. Tidak ada masalah banjir bandang melanda kawasan perumahan, bebas dari penyakit-penyakit yang ditularkan akibat tumpukan sampah yang menumpuk dan mengundang lalat, dan satu lagi, wilayahnya bersih dan terlihat asri meskipun ribuan orang beraktifitas tiap harinya. Semua keuntungan itu bisa kita dapatkan juga apabila negara kita mengusung manajemen sampah yang seperti itu.
Pendapat saya, memang komitmen dan tanggung jawab untuk membuang sampah pada tempatnya itu sulit, terutama kita tidak didukung oleh fasilitas berupa tempat sampah yang memadai dan budaya kita tidak seperti di Jepang yang menggunakan metode rumit hanya untuk membuang sampah. Namun, ada baiknya mulai dari sekarang kita berkomitmen pada diri sendiri untuk selalu membuang sampah pada tempatnya karena hal itu juga akan berdampak positif untuk diri kita sendiri. Jika kita terus melakukan kebiasaan baik, kebiasaan itu akan ‘menular’ juga pada orang-orang di sekitar kita Dengan demikian, maka akan tercipta lingkungan yang lebih sehat dan terciptalah budaya membuang sampah pada tempatnya sehingga budaya negatif seperti membuang sampah sembarangan perlahan akan sirna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar